Kamis, 25 April 2013

Resensi Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Resensi Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Judul buku : T-enggelamnya Kapal Van Der Wijck

Pengarang : Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA
Penerbit : Percetakan Bulan Bintang
Tahun terbit : 1939
Cetakan : 25, Agustus 2001
Tebal buku : 224 halaman

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal sebagai HAMKA adalah seorang penulis, penyair ulung pada masanya. Penyair ini sudah tidak asing lagi di telinga kita karena karya karyanya yang luar biasa. Pengarang kelahiran Padang ini selain seorang sastrawan besar, beliau juga adalah seorang ulama besar di Indonesia. Belasan bahkan mungkin puluhan karya yang telah dituliskan sebagai jalur da’wahnya. Novel yang ditulisnya ini bersetting pada awal tahun 1930-an.
Novel yang judulnya diambil dari salah satu judul bab dalam novel ini, merupakan salah satu karyanya yang tersohor. Dalam novel ini, penggunaan tema pentingnya sebuah kesetiaan nampak sangat pas ketika novel ini terbit untuk pertama kali pada tahun 1939. Semua orang tahu, saat itu para bumi putera harus menunjukkan kesetiaannya pada Jepang. Tampaknya ada unsur kesengajaan pemilihan tema untuk mengkritik kebijakan pemerintahan kolonial saat itu.
Novel ini bercerita tentang petualangan seorang pemuda hingga ia menemukan cinta, kesuksesan dan detik detik kematiannya. Zainuddin adalah pemuda berdarah campuran Makassar (dalam novel ini ditulis Mengkasar) dan Minangkabau. Keinginan sang pemuda untuk menuntut ilmu di kampung halamannya, di tanah Minang adalah awal mula petualangan panjangnya. Setibanya di sebuah kampung tempat ayahnya dilahirkan, Batipuh, dia justru jatuh cinta pada Hayati, seorang gadis terpandang di sana. Begitu pun sang gadis. Ketika telah mengetahui isi hati masing masing, mereka pun berjanji untuk hidup bersama. Namun apa guna bila niat untuk menjadi sepasang suami istri harus ditentang oleh perbedaan adat dan kekuatan uang. Maka Zainuddin segera bergerak menuju Padang Panjang untuk kembali pada tujuan awalnya. Sedang Hayati lebih memilih menikah dengan Aziz, kakak dari Khadijah, sahabat Hayati dengan alasan uang. Padahal saat itu kekuangan Zainuddin cukup untuk melamar Hayati karena kekayaan peninggalan orang tuanya yang meninggal di Makassar.
Setelah mengetahui bahwa Hayati telah mengingkari janjinya, Zainuddin shock dan sakit sebelum dia memutuskan untuk lenyap dari tanah Sumatera menuju tanah Jawa untuk mencoba keberuntungannya bersama sahabatnya Muluk, seorang pemabuk yang dikenalnya di Padang Panjang. Di Jawa, mereka berdua menetap di kota Jakarta dan bekerja sebagai kolumnis di beberapa majalah dan koran besar di sana. Setelah merasa cukup, Zainuddin bersama Muluk segera mendirikan kantor penerbitan sendiri di kota Surabaya. Di sinilah Zainuddin bebas mengembangkan ekspresinya sebagai penulis hingga akhirnya dia dikenal oleh semua orang karena karya karyanya yang termahsyur dengan nama Tuan Shabir.
Hayati sendiri sudah tahu bagaimana tabiat suaminya, Aziz, penjudi yang sering main perempuan. Maka, ketika Aziz mengajaknya untuk pindah ke Surabaya, Hayati sudah tahu alasannya. Sayangnya di sana justru kehidupan mereka mulai berantakan. Dimulai dari habisnya uang mereka karena kebiasaan buruk Aziz, perlakuan kasar Aziz, dan semacamnya. Puncaknya ketika mereka harus menjadi gelandangan karena diusir dari kontrakan mereka.
Saat itu pula mereka bertemu dengan Zainuddin. Untunglah Zainuddin mengizinkan mereka tinggal di rumahnya. Aziz menyesali perbuatannya dan mulai serius untuk mencari pekerjaan. Untuk itulah dia menitipkan istrinya pada Zainuddin. Tapi, malang tak dapat di tolak, tersiar kabar Aziz bunuh diri di sebuah hotel di kota Banyuwangi.
Hayati merasakan kesedihan luar biasa. Namun ketika tahu dari Muluk bahwa Zainuddin masih cinta kepadanya, ia meminta agar dinikahi oleh Zainuddin. Entah apa yang dipikikan oleh Zainuddin, ia menolak. Ia bahkan mengurus seluruh biaya dan proses kepulangan Hayati ke Sumatra. Hayati pun pulang disertai kesedihan mendalam dengan menumpang kapal Van Der Wijck.
Sekali lagi, Zainuddin harus bersedih. Dia seharusnya menerima niat baik Hayati. Maka ia pun segera bergerak untuk menjemput kembali Hayati. Namun, belum sempat hal itu dilaksanakannya, terdengar kabar bahwa kapal itu tenggelam dan banyak penumpang dari kapal itu yang menjadi korbannya.
Naas, walaupun ia telah bertemu Hayati, perpisahan tak dapat ditolak. Hayati meninggal dunia setelah ditemukan Zainuddin di sebuah tempat penampungan darurat korban tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Tak lama setelah itu, Zainuddin pun meninggal dunia karena penyakit.
Dalam novel yang ditulisnya ini, kita dapat mengira ngira bahwa sebenarnya sang pengarang sendiri ingin mengkritik adat budayanya sendiri. Hal ini banyak kita dapatkan dari ungkapan dan kata kata si tokoh utama. Sebagaimana karya karya sastra lainnya, novel ini juga mengajarkan kepada kita banyak hal yang terkandung dalam setiap nilai dalam bagiannya masing masing.
Sang pengarang dengan jelas menggunakan bahasa yang sedang trend dimasanya. Hal ini tampak jelas dengan banyaknya penulisan dengan gaya ejaan Indonesia lama. Pengaruh Melayu juga dapat kita lihat dengan jelas yang ditandai dengan penggunaan pantun dan sajak. Penggambaran keadaan sang tokoh utama yang dilambangkan dengan perumpamaan juga sering kali muncul di beberapa bagian. Selain itu pengarang juga menggunakan bahasa yang lugas, bebas, halus khas Melayu dan terkesan apa adanya untuk menarik minat pembaca untuk membaca keseluruhan karyanya ini.
Penggunaan latar, yaitu adat budaya Minangkabau dan Makassar yang digambarkan sangat bertentangan dianggap faktor yang tepat dalam karya sastra yang berbentuk novel ini. Hal inilah yang membuat setiap pembaca dapa terpancing sehingga larut dalam setiap bagian novel fiksi romantik ini. Penggunaan bahasa yang halus, bebas dan terkesan apa adanya pun menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca untuk membacanya hingga akhir dari karya ini. Rangkaian peristiwa dan konflik yang disusun sedemikian rupa juga penokohan yang kuat dari setiap karakter, penggambaran latar yang tepat hingga alur cerita yang mengalun indah tak bisa dipungkiri menjadi kelebihan dari karya ini.
Akan tetapi, bukannya karya ini tak punya cela. Kritikan kritikan tokoh utama dalam novel ini dapat dipandang sebagai celaan terhadap adat budaya. Pengarang sering kali mengkritikunsur unsur adat budaya yang menurutnya agak menyimpang secara berlebihan walaupun dengan bahasa yang halus dan bisa menimbulkan kesan negatif pada pembaca terhadap budaya tersebut.Dilihat dari segi ketata bahasaan, penggunaan bahasa asli yang digunakan pengarang terkadang menyulitkan pembaca dalam menyelami karyanya. Hal ini terjadi karena bahasa yang dipakai terkadang telah tergeser oleh kosa kata baru maupun serapan yang sering dipakai oleh orang orang saat ini.
Sekali lagi, novel karya penulis tersohor, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA ini telah mengundang decak kagum para pembacanya. Secara keseluruhan novel ini dapat dijadikan bacaan wajib untuk diambil nilai yang terkandung didalamnya dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari. Amanat yang disampaikan sang pengarang tidak akan lekang dimakan zaman dan tetap pas hingga saat ini. Selain itu kita juga sebenarnya telah dikritik untuk lebih memperhatikan adat istiadat dan budaya kita dan budaya suku lain di negeri ini. Apa lagi di zaman sekarang ini, tak banyak remaja yang mempelajari dan mencintai adat istiadat dan budaya daerahnya sendiri padahal kalau bukan kita siapa lagi yang akan menjaga kekayaan budaya bangsa besar ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar