Pengarang :
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA
Penerbit :
Percetakan Bulan Bintang
Tahun terbit
: 1939
Cetakan :
25, Agustus 2001
Tebal buku :
224 halaman
Haji Abdul
Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal sebagai HAMKA adalah seorang
penulis, penyair ulung pada masanya. Penyair ini sudah tidak asing lagi di
telinga kita karena karya karyanya yang luar biasa. Pengarang kelahiran Padang
ini selain seorang sastrawan besar, beliau juga adalah seorang ulama besar di
Indonesia. Belasan bahkan mungkin puluhan karya yang telah dituliskan sebagai
jalur da’wahnya. Novel yang ditulisnya ini bersetting pada awal tahun 1930-an.
Novel yang
judulnya diambil dari salah satu judul bab dalam novel ini, merupakan salah
satu karyanya yang tersohor. Dalam novel ini, penggunaan tema pentingnya sebuah
kesetiaan nampak sangat pas ketika novel ini terbit untuk pertama kali pada
tahun 1939. Semua orang tahu, saat itu para bumi putera harus menunjukkan
kesetiaannya pada Jepang. Tampaknya ada unsur kesengajaan pemilihan tema untuk
mengkritik kebijakan pemerintahan kolonial saat itu.
Novel ini
bercerita tentang petualangan seorang pemuda hingga ia menemukan cinta,
kesuksesan dan detik detik kematiannya. Zainuddin adalah pemuda berdarah
campuran Makassar (dalam novel ini ditulis Mengkasar) dan Minangkabau.
Keinginan sang pemuda untuk menuntut ilmu di kampung halamannya, di tanah
Minang adalah awal mula petualangan panjangnya. Setibanya di sebuah kampung
tempat ayahnya dilahirkan, Batipuh, dia justru jatuh cinta pada Hayati, seorang
gadis terpandang di sana. Begitu pun sang gadis. Ketika telah mengetahui isi
hati masing masing, mereka pun berjanji untuk hidup bersama. Namun apa guna
bila niat untuk menjadi sepasang suami istri harus ditentang oleh perbedaan
adat dan kekuatan uang. Maka Zainuddin segera bergerak menuju Padang Panjang
untuk kembali pada tujuan awalnya. Sedang Hayati lebih memilih menikah dengan
Aziz, kakak dari Khadijah, sahabat Hayati dengan alasan uang. Padahal saat itu
kekuangan Zainuddin cukup untuk melamar Hayati karena kekayaan peninggalan
orang tuanya yang meninggal di Makassar.
Setelah
mengetahui bahwa Hayati telah mengingkari janjinya, Zainuddin shock dan sakit
sebelum dia memutuskan untuk lenyap dari tanah Sumatera menuju tanah Jawa untuk
mencoba keberuntungannya bersama sahabatnya Muluk, seorang pemabuk yang
dikenalnya di Padang Panjang. Di Jawa, mereka berdua menetap di kota Jakarta
dan bekerja sebagai kolumnis di beberapa majalah dan koran besar di sana.
Setelah merasa cukup, Zainuddin bersama Muluk segera mendirikan kantor
penerbitan sendiri di kota Surabaya. Di sinilah Zainuddin bebas mengembangkan
ekspresinya sebagai penulis hingga akhirnya dia dikenal oleh semua orang karena
karya karyanya yang termahsyur dengan nama Tuan Shabir.
Hayati
sendiri sudah tahu bagaimana tabiat suaminya, Aziz, penjudi yang sering main
perempuan. Maka, ketika Aziz mengajaknya untuk pindah ke Surabaya, Hayati sudah
tahu alasannya. Sayangnya di sana justru kehidupan mereka mulai berantakan.
Dimulai dari habisnya uang mereka karena kebiasaan buruk Aziz, perlakuan kasar
Aziz, dan semacamnya. Puncaknya ketika mereka harus menjadi gelandangan karena
diusir dari kontrakan mereka.
Saat itu
pula mereka bertemu dengan Zainuddin. Untunglah Zainuddin mengizinkan mereka
tinggal di rumahnya. Aziz menyesali perbuatannya dan mulai serius untuk mencari
pekerjaan. Untuk itulah dia menitipkan istrinya pada Zainuddin. Tapi, malang
tak dapat di tolak, tersiar kabar Aziz bunuh diri di sebuah hotel di kota
Banyuwangi.
Hayati
merasakan kesedihan luar biasa. Namun ketika tahu dari Muluk bahwa Zainuddin
masih cinta kepadanya, ia meminta agar dinikahi oleh Zainuddin. Entah apa yang
dipikikan oleh Zainuddin, ia menolak. Ia bahkan mengurus seluruh biaya dan
proses kepulangan Hayati ke Sumatra. Hayati pun pulang disertai kesedihan
mendalam dengan menumpang kapal Van Der Wijck.
Sekali lagi,
Zainuddin harus bersedih. Dia seharusnya menerima niat baik Hayati. Maka ia pun
segera bergerak untuk menjemput kembali Hayati. Namun, belum sempat hal itu
dilaksanakannya, terdengar kabar bahwa kapal itu tenggelam dan banyak penumpang
dari kapal itu yang menjadi korbannya.
Naas,
walaupun ia telah bertemu Hayati, perpisahan tak dapat ditolak. Hayati
meninggal dunia setelah ditemukan Zainuddin di sebuah tempat penampungan
darurat korban tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Tak lama setelah itu,
Zainuddin pun meninggal dunia karena penyakit.
Dalam novel
yang ditulisnya ini, kita dapat mengira ngira bahwa sebenarnya sang pengarang sendiri
ingin mengkritik adat budayanya sendiri. Hal ini banyak kita dapatkan dari
ungkapan dan kata kata si tokoh utama. Sebagaimana karya karya sastra lainnya,
novel ini juga mengajarkan kepada kita banyak hal yang terkandung dalam setiap
nilai dalam bagiannya masing masing.
Sang
pengarang dengan jelas menggunakan bahasa yang sedang trend dimasanya. Hal ini
tampak jelas dengan banyaknya penulisan dengan gaya ejaan Indonesia lama.
Pengaruh Melayu juga dapat kita lihat dengan jelas yang ditandai dengan penggunaan
pantun dan sajak. Penggambaran keadaan sang tokoh utama yang dilambangkan
dengan perumpamaan juga sering kali muncul di beberapa bagian. Selain itu
pengarang juga menggunakan bahasa yang lugas, bebas, halus khas Melayu dan
terkesan apa adanya untuk menarik minat pembaca untuk membaca keseluruhan
karyanya ini.
Penggunaan
latar, yaitu adat budaya Minangkabau dan Makassar yang digambarkan sangat
bertentangan dianggap faktor yang tepat dalam karya sastra yang berbentuk novel
ini. Hal inilah yang membuat setiap pembaca dapa terpancing sehingga larut
dalam setiap bagian novel fiksi romantik ini. Penggunaan bahasa yang halus,
bebas dan terkesan apa adanya pun menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca
untuk membacanya hingga akhir dari karya ini. Rangkaian peristiwa dan konflik
yang disusun sedemikian rupa juga penokohan yang kuat dari setiap karakter,
penggambaran latar yang tepat hingga alur cerita yang mengalun indah tak bisa
dipungkiri menjadi kelebihan dari karya ini.
Akan tetapi,
bukannya karya ini tak punya cela. Kritikan kritikan tokoh utama dalam novel
ini dapat dipandang sebagai celaan terhadap adat budaya. Pengarang sering kali
mengkritikunsur unsur adat budaya yang menurutnya agak menyimpang secara
berlebihan walaupun dengan bahasa yang halus dan bisa menimbulkan kesan negatif
pada pembaca terhadap budaya tersebut.Dilihat dari segi ketata bahasaan,
penggunaan bahasa asli yang digunakan pengarang terkadang menyulitkan pembaca
dalam menyelami karyanya. Hal ini terjadi karena bahasa yang dipakai terkadang
telah tergeser oleh kosa kata baru maupun serapan yang sering dipakai oleh
orang orang saat ini.
Sekali lagi,
novel karya penulis tersohor, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA ini
telah mengundang decak kagum para pembacanya. Secara keseluruhan novel ini
dapat dijadikan bacaan wajib untuk diambil nilai yang terkandung didalamnya dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari. Amanat yang disampaikan sang
pengarang tidak akan lekang dimakan zaman dan tetap pas hingga saat ini. Selain
itu kita juga sebenarnya telah dikritik untuk lebih memperhatikan adat istiadat
dan budaya kita dan budaya suku lain di negeri ini. Apa lagi di zaman sekarang
ini, tak banyak remaja yang mempelajari dan mencintai adat istiadat dan budaya
daerahnya sendiri padahal kalau bukan kita siapa lagi yang akan menjaga
kekayaan budaya bangsa besar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar